Arti Sahabat




Arti Sahabat
Cerpen Karangan: Ima Susiati

Cahaya matahari pagi itu begitu lembut menerobos dedaunan. Namun tak mampu membuat wajah temanku pagi itu berbinar dengan ribuan larik cahaya mentari. Layu tertunduk. Itulah yang nampak dari wajah sendu sahabatku. Entahlah, sejak kapan kami begitu lekat menjadi sepasang sahabat. Tak ada kata kesepakatan terucap di antara kami. Satu aqidah, satu perjuangan, cukup bagi kami untuk dijadikan sebuah alasan. Adalah itu cukup.
Ini adalah hari terakhir ujian mustawa (tingkat). Satu mustawa sudah kami lalui di bangku Darul Lughah (Istilah untuk Markaz Bahasa sebelum masuk ke kampus di Negeri Kinanah). Tentu perasaan kami lega bercampur was-was. Merasa lega karena masa imtihan (ujian) sudah berakhir, was-was entah seperti apa natijah (nilai) yang akan kami dapati di pengumuman nanti.
“Na, anti kenapa?” selidikku pada sahabat yang masih duduk termenung di tepi ruang perkuliahan.
Tak ada jawaban pasti yang terucap darinya. Yumna hanya diam dengan pandangan menerawang entah kemana.
“Na, anti kenapa?” kuulangi sekali lagi pertanyaanku, mencoba mencari jawaban dari sahabat baruku yang masih membisu tak sepatah katapun dia ucapkan.
Meski butuh waktu sedikit lebih lama, Yumna segera membalik tubuhnya kearahku, membuat wajahnya kini terlihat jelas olehku. Sesaat kemudian sebuah senyuman manis tersungging di bibirnya, matanya mulai berbinar. Kini wajahnya berubah menjadi cerah seketika.
“Ra, sholat Dhuha dulu yuk? Mumpung masih jam sepuluh kurang nih” ajaknya seraya mengangkat tubuhnya berdiri.
Aku pun mengangguk, berdiri dan mengikuti langkahnya keluar kelas.
Yumna, sesuai dengan namanya sahabat baruku itu tidak hanya anggun nan lembut tapi juga terhiasi oleh amal-amal yang super-duper. Terutama bagiku yang baru saja mengenal arti kehidupan. Seseorang yang kukenal kurang lebih sebulan ini, tak disangka mampu memberikan banyak pelajaran berharga, terutama tentang Islam. Selain sahabat, dia juga guru bagiku.
Masih tergiang olehku, bagaimana pertama kali aku bertemu dengan Yumna. Kala itu masih awal mustawa dan hari pertama bagiku. Bahkan ini adalah perdana kaki ini terlangkah di negeri para Nabi, Mesir, baru sekitar sembilan puluh hari ku melaluinya. Pagi itu, pagi yang istimewa. Pagi yang begitu dinanti. Mata kuliah jam pertama akan dimulai. Ruang kelas nampak sudah penuh dengan mahasiswi yang lebih dulu masuk Darul Lughah. Meski kita sama-sama satu angkatan, tapi karena natijahku saat imtihan bisa dibilang ‘lumayan’ aku akhirnya bertemu mereka di mustawa akhir. Di kelas baru itu nyaris tak ada bangku kosong.
“Law samahti, afwan ini kursi kosong kah?” ku bertanya pada seseorang yang duduk di sudut ruang kelas di deret paling belakang dan terlihat sibuk dengan buku bacaan di tangan.
“InsyaAllah, tafadloli.” Seseorang yang mengenakan gamis krem dengan paduan kerudung bermotif coklat yang cukup lebar dengan wajahnya yang lembut tersenyum sambil mengangguk menjawab pertanyaanku.
“Syukron.” Balasku.
“Yumna.” Dia pun mengulurkan tangannya terlebih dulu saat ku selesai meletakkan tas di samping kursi. Gadis berwajah lembut itu tersenyum sekali lagi, kali ini sambil mengenalkan namanya.
“Rania.” Kusambut uluran tangannya sambil tak lupa kusebut namaku tanda menerima perkenalan.
Tak disangka, keriuhan kelas seketika berubah menjadi tenang. Perkenalan yang baru saja kami mulai pun harus ditunda karena dukturah (begitu kami menyebutnya untuk ustadzah yang sudah menempuh jenjang S2) ketika beliau memasuki ruang kelas.
Mata kuliah hari pertama di Markaz pun dimulai. Tak terlalu lama, hanya perkenalan dan penjelasan materi selama satu mustawa ke depan antara dukturah dan mahasiswi yang terjadi pagi itu. Dukturah segera menutup salam ketika dirasa sudah cukup. Semua mahasiswi segera berhambur keluar kelas, dengan beragam kegiatan yang tak henti mengantri. Tak terkecuali aku dan kenalan baruku, Yumna. Saat beberapa langkah keluar dari ruang kelas langkahku memelan tanpa menunggu komando. Aku bingung mau ke mana, tak ada kagiatan sampai mata kuliah yang ke-2. Mata kuliah ke-2 hari ini baru akan dimulai jam 10.15. waktu kosong lumayan panjang dikarenakan dukturah di mata kuliah pertama hanya sebentar. Ternyata Yumna menangkap kebingunganku.
“Bingung ya mau ke mana?”
Aku pun hanya tersenyum mendengar pertanyaanya.
“Ikut aku yuk!” ajak Yumna.
“Ke mana?” tanyaku heran.
“Ketemu dengan temen-temen yang satu Kekeluargaan dengan kita.”
Aku hanya menurut saja, mengikuti langkah Yumna. Seseorang yang baru saja beberapa waktu tadi aku mengenalnya. Walau muncul banyak pertanyaan di benakku. Apa itu Kekeluargaan? Dan siapa mereka?
“Assalamu’alaikum.” Sapa Yumna ketika kami berdua memasuki grup kecil yang terlihat sedang berdiskusi tepat dibawah masjid Markaz, tempat kami melaksanakan sebagian kewajiban sehari-hari dikampus.
“Wa’alaikumussalam, tafadloli dek.” Jawab seseorang yang berpenampilan tak jauh berbeda dengan Yumna, mengenakan terusan warna biru donker dengan kerudung lebar dengan warna selaras. Padu padan yang pas.
“Kak, kenalkan ini Rania teman sekelasku, Rania ini mbak Rahmah pengurus keputrian Kekeluargaan yang sedaerah dengan kita.” Tanpa dikomando Yumna langsung memperkenalkan satu sama lain tanda awal pertemuan kami.
Aku mengulurkan tanganku, Ka Rahmah menyambutnya sambil memelukku seraya berkata.
“Ahlan wa sahlan dek di Kekeluargaan kita. Ternyata kita dari satu daerah ya di Indonesia” Dengan lembut ia berbisik.
Lembut dan hangat, itulah kesan menyenangkan yang pertama kali tertangkap olehku. Lewat bisikan Kak Rahmah akhirnya aku faham apa itu Kekeluargaan. Tak hanya itu, Yumna pun menjelaskan lebih jauh lagi.
“Kekeluargaan ini adalah salah satu Lembaga atau Unit Kegiatan Mahasiswa/i yang dibentuk sesuai dengan wilayah dimana kita berasal. InsyaAllah kamu tau kan, waktu pertemuan awal mahasiswa/i kemarin ada sesi pengenalan masing-masing Kekeluargaan. Di sini kita bisa belajar banyak tentang Islam, mater-materi bahasa Arab, berbagai seminar tentang fiqh wanita, jurnalistik, dan kegiatan lainnya.” Terang Ningrum yang tak ku sangka sejauh itu pengetahuannya.
Aku menganguk sebagai tanda mengerti. Yumna terus melanjutkan keterangannya. Aku sedikit heran, Ningrum yang sama-sama mahasiswa baru denganku bisa sangat fasih menjelaskan. Sedangkan Kak Rahmah hanya sesekali mengiyakan untuk membenarkan perkataannya. Belakangan baru aku tau, ternyata Yumna sudah sangat mengenal Kak Rahmah lantaran sama-sama aktif Badan Dakwah Islam semasa masih di Indonesia. Dan Kak Rahmah adalah kakak kelas sekaligus seniornya kala itu. Akses mudah memperoleh informasi pikirku. Kami pun larut dalam sebuah diskusi ringan namun seolah memiliki energi yang luar biasa.
Wajahku berseri, seolah ikut semangat merasakan keceriaan hati. Entah kenapa, rasanya aku mulai tertarik dan makin bersemangat berdiskusi. Pengetahuan yang minim tentang Islam jadi pendorongku tertarik dengan kegiatan di luar perkuliahan. Dengan penuh antusias aku mengikuti diskusi yang mengalir bak aliran sungai Nil yang tak pernah surut itu, perlahan namun pasti. Banyak sekali pertanyaan yang muncul, tanpa pikir panjang aku langsung menanyakan pada Kak Rahmah. Tentang Islam atau Kekeluargaan.
“Oh iya Kak, apa jika kita masuk menjadi anggota Kekeluargaan harus memakai baju terusan seperti itu?” tanyaku tanpa basa-basi karena sudah dirundung rasa penasaran yang bisa dibilang membuncah.
Ka Rahmah tersenyum, “Kekeluargaan tidak mewajibkannya, tapi Allah yang secara tegas menyerukannya pada kita, muslimah, dalam kitabnya.” Jawabnya dengan pasti namun tetap .
“Di Al-Quran, Kak?” tanyaku mencoba meyakinkan.
“He-em, surat Al-Ahzab ayat 59.”
Mendengar jawaban Kak Rahmah aku pun terdiam, sementara Yumna dengan sigap langsung mengambil Al-Quran lengkap dengan tafsirnya yang tersususun rapi di rak yang berada disudut ruangan. Lalu duduk kembali di sampingku sambil menyodorkan Al-Quran dengan tafsirnya itu kepadaku, lengkap dengan halaman yang terbuka dimana surat Al-Ahzab ayat 59 terdapat di dalamnya. Aku segera meraihnya dan membaca tafsirnya surat Al-Ahzab ayat 59. Ada yang aneh kurasa, tanpa pikir panjang kucari jawabannya.
“Tapi ayat ini menyebutkan Jilbab?”
“Coba dibaca surat An-Nur ayat 31 juga, lalu bandingkan.” Perintah Ka Rahmah.
Aku langsung menyisir lembar demi lembar Al-Quran tafsir itu mencari ayat yang dimaksud. Kali ini aku menemukan kata-kata kerudung. Aku makin tak faham.
“Coba baca sekali lagi surat Al-Ahzab ayat 59.” Sergah Kak Rahmah seolah mampu membaca pikiranku.
Memang benar, ada yang luput dari penglihatanku. Sehingga aku tak membaca tafsir ayat itu secara penuh. Jilbab ialah sejenis baju kurung yang lapang yang dapat menutup kepala, wajah dan dada. Jelas sekarang bagiku kenapa Kak Rahmah menyuruhku membuka kedua ayat itu. Terpampang jelas di sana perbedaan antara jilbab dan kerudung. Jilbab dan kerudung yang jelas jauh berbada maknanya. Dengan mudah disamakan tanpa dasar yang jelas. Suatu kesalahan yang dianggap lumrah ditengah masyarakat umum. Dan aku termasuk di dalamnya. Kini aku tau apa nama pakaian yang dikenakan Yumna juga Ka Rahmah itu.
Sejak saat itu aku sadar, sebagai muslim ternyata masih banyak sekali hal-hal yang belum aku ketahui. Hanya sekedar mengenakan kerudung dan menjalankan sholat serta puasa dibulan Ramadhan bukan lantas cukup kita disebut sebagai seorang muslim. Sejak saat itulah muncul tekad lebih kuat untuk memperdalam Islam lebih jauh. Kak Rahmah dan Yumna, dua orang yang begitu berjasa dan mampu memberikan perubahan pada hidupku. Tanpa melalui mereka, entah akan seperti apa aku sekarang ini. Mahasiswi yang hanya disibukkan dengan urusan duniawi saja. Mungkin akan tetap seperti itu. Kini aku sudah hampir setahun mengenakan jilbab, aktif menjadi pengurus Kekeluargaan setelah perkuliahan jadi salah satu kegiatanku. Selain bisa memperdalam Islam, juga menambah saudara dan pengalaman menarik lainnya. Bagiku sangat menyenangkan. Kesibukan penuh pahala sebagai bekal diakhirat kelak.
Sebelum sholat dhuha, aku pandangi wajah lembut sahabatku sekali lagi. Rasa syukurku, rasanya ingin terus kuucapkan pada Sang Khaliq. Syukur yang mendalam karena memberiku hidayah lewat sahabat yang sangat aku cintai. Cinta hanya karena Allah, bukan yang lain. Sahabat yang bukan hanya membenarkan perbuatanku, tapi juga sebagai pengingat khilaf perilakuku di saat futur. Sahabat yang menguatkan langkah dakwah ketika futur mendera. Penyemangat langkah dalam berjuang tegakkan agama Allah.
Itulah sahabat yang selama ini kucari dan kunanti. Seorang sahabat yang mampu membuatku tahu bahwa dunia ini adalah sebuah prosesi. Dunia adalah persiapan seorang hamba dengan Tuhannya. Bukan karena dunia kita berteman, tapi semata karena Allah. Ada sebuah syair indah tentang arti sahabat, menuturkan;
Jika hartaku sedikit tidak ada sahabat yang mau berteman denganku
Jika hartaku melimpah semua orang ingin bersahabat denganku
Berapa banyak musuh bersahabat denganku karena hartaku
Dan berapa banyak sahabat menjadi musuh karena ketiadaan hartaku
“Ana uhibbukifillah ya ukhti…” bisikku dalam hati.
Seusai sholat dhuha, Yumna meraih tanganku lalu menggenggamnya erat-erat.
“Kita sudah berusaha untuk imtihan mustawa ini, sudah saatnya kita menyerahkan semuanya pada Allah. Berdo’a agar Allah memberi yang terbaik untuk kita.” Senyum Yumna mengembang, lalu melanjutkan bicaranya.
“Walau imtihan telah usai, dakwah harus tetap jalan.”
Aku mengangguk, mengumpulkan seluruh semangat dalam dada dan mempererat genggaman tangan Yumna. Seakan kami berdua sedang mengumpulkan semangat dan tekad, lalu menggenggamnya erat-erat dengan kedua tangan kami. Terima kasih arti sahabat yang engkau berikan. Insyaallah bersua di Jannah-Nya.

Cerpen Karangan: Ima Susiati
Mahasiswi Darul Lughah Univ. Al Azhar Cairo Mesir

Sumber : cerpenmu.com