Pasujudan Sunan Bonang terletak dia sebuah
bukit yang bersebelahan dengan pantai Binangun, yang masuk dalam Desa Bonang,
Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Kata pasujudan bersal
dari bahasa Jawa dengan kata sujud yang berarti gerakan sholat dengan wajah
mencium tanah. Dalam bahasa Jawa, sujud dapat diartikan menyembah atau
beribadah secara umum. Penambahan pa dan an pada kata pasujuduan mengubah kata kerja sujud
menjadi kata benda pasujudan yang berarti tempat untuk menyembah atau bersujud.
Pada batu yang lain terdapat cap telapak kaki Sunan Bonang. Telapak ini menurut masyrakat merupakan cara berdiri Sunan Bonang menggunakan satu kaki layaknya posisi burung bangau, hal ini diartikan sebagai tirakat oleh Sunan Bonang. Pada batu tersbut masih membekas telapak kaki Sunan Bonang. Kedua batu yang ln dianggap sebagai bantal dari Sunan Bonang. Tempat ditemukannya btu - batu tersebut adalah di lereng bukit kemudian dinaikkan keatas dan dibuatkan cungkup. Namun tidak ada yang mengetahui kapan cungkup ini didirikan.
Sebelah utara cungkup
Sunan Bonang terdapat cungup yang dipercaya sebagai makam dari Putri Campa.
Cungkup ini memiliki arsitektur yang indah dengan empat tiang penyangga cungkup
yang terbuat dari tulang belakang ikan paus. Namun ketik dilakukan pemugaran
umpak tersebut diganti dan keasliannya pun hilang. Sementara itu jirat seta
nisan makam juga sudah tidak asli namun merupakan tambahan ketika makam dipugar
pada 1918. Putri Campa sendiri dipercaya sebagai murid dari Sunan Bonang dengan
nama asli Bie Nang Tie. Ia berasal dari negri Campa pada wilayah Tonkin skitar
daerah Kambojoa yang kini merupakan wilayah dari Vietnam. Bie Nang Tie
merupakan putri dari seorang dhampo awang (seorang Laksamana) dari kapal niaga
Champa, yang mendarat di Teluk Regol (Bonang).
Hubungan dagang yang dilakukan antara Bie Nang Oen dan Aipati Lasem Pangeran Badranala, pada akhirnya Bie Nang Ti dinkahi oleh adipati menjadi permaisuri dan kemudian mengubah namanya menjadi Winarti Kumudawardhani. Ketika Pangeran Badranala meninggal dan digntikan putranya Pangeran Wirabradjra, Bie Nng Tie kemudian menjadi bhikuni (seorang biksu), yang kemudian menetap di Banjar Melati (kota Lasem bagian selatan). Pada saat meninggal, Bie Nang Tie berumur 56 tahun dan kemudian abunya dimakamkan di Puncak Gunung Bonang dan diberi nisan layaknya orang Islam.
Hasil pernikahan Nie Nang Tie dengan Badranala pada anak ke tiga menjadi adipati Lasem dan mempersunting Siti Syari'ah dari Ampel Denta (Surabaya), Adik Siti Syari'ah yaitu Machdum Brahim yang menjadi Sunan Bonang ditugasi untuk merawat makam Putri Champa tersebut dan diberi tanah perdikan oleh Adipati Wiranegara di Bonang.
Ada satu kisah yang menarik tentang Sunan Bonng dengan alat gamelan yang disebut Bonang. Kisah ini bermula ketika seorang utusan dari Majapahit bernama Becak yang akan menyampaikan suatu berita kepada Sunan Bonang. Sesampainya di depan rumah Sunan Bonang, Becak mendapati Sunan dan murid - muridnya sedang berdzikir. Sambil menunggu, Becak rengeng - rengeng (Bernyanyi Jawa dengan suara lirih). Suara ini pun terdengar oleh murid dan Sunan Bonang sendiri. Nampaknya, Sunan Bonang tidak berkenan mendengar suara tersebut ketika ia sedang berzikir. Muridnya pun bertanya kepada Sunan Bonang, suara apakah itu? Sunan Bonang menjawab suara tersebut adalah suata bende (alat gamelan, biasanya disebut bonang yang digunakan untuk mengumpulkan massa). Konon menurut cerita, Becak kemudian berubah menjadi bende setelah Sunan Bonang berkata demikian. Kemudian bende tersebut kemudian digunakan oleh Sunan Bonang untuk mengumpulkan murid - muridnya. Bend tersebut kemudian dinamakan Bende Becak. Dan hingga saat ini, Bende Becak masih tersimpan dan dirawat oleh juru kuci makam Sunan Bonang yang berada dekat dengan pasujudan. Setiap 10 Dzulhijjah atau pada hari raya Idul Adha, Bende Becak dijamas.
Sumber : idsejarah.net
Hubungan dagang yang dilakukan antara Bie Nang Oen dan Aipati Lasem Pangeran Badranala, pada akhirnya Bie Nang Ti dinkahi oleh adipati menjadi permaisuri dan kemudian mengubah namanya menjadi Winarti Kumudawardhani. Ketika Pangeran Badranala meninggal dan digntikan putranya Pangeran Wirabradjra, Bie Nng Tie kemudian menjadi bhikuni (seorang biksu), yang kemudian menetap di Banjar Melati (kota Lasem bagian selatan). Pada saat meninggal, Bie Nang Tie berumur 56 tahun dan kemudian abunya dimakamkan di Puncak Gunung Bonang dan diberi nisan layaknya orang Islam.
Hasil pernikahan Nie Nang Tie dengan Badranala pada anak ke tiga menjadi adipati Lasem dan mempersunting Siti Syari'ah dari Ampel Denta (Surabaya), Adik Siti Syari'ah yaitu Machdum Brahim yang menjadi Sunan Bonang ditugasi untuk merawat makam Putri Champa tersebut dan diberi tanah perdikan oleh Adipati Wiranegara di Bonang.
Ada satu kisah yang menarik tentang Sunan Bonng dengan alat gamelan yang disebut Bonang. Kisah ini bermula ketika seorang utusan dari Majapahit bernama Becak yang akan menyampaikan suatu berita kepada Sunan Bonang. Sesampainya di depan rumah Sunan Bonang, Becak mendapati Sunan dan murid - muridnya sedang berdzikir. Sambil menunggu, Becak rengeng - rengeng (Bernyanyi Jawa dengan suara lirih). Suara ini pun terdengar oleh murid dan Sunan Bonang sendiri. Nampaknya, Sunan Bonang tidak berkenan mendengar suara tersebut ketika ia sedang berzikir. Muridnya pun bertanya kepada Sunan Bonang, suara apakah itu? Sunan Bonang menjawab suara tersebut adalah suata bende (alat gamelan, biasanya disebut bonang yang digunakan untuk mengumpulkan massa). Konon menurut cerita, Becak kemudian berubah menjadi bende setelah Sunan Bonang berkata demikian. Kemudian bende tersebut kemudian digunakan oleh Sunan Bonang untuk mengumpulkan murid - muridnya. Bend tersebut kemudian dinamakan Bende Becak. Dan hingga saat ini, Bende Becak masih tersimpan dan dirawat oleh juru kuci makam Sunan Bonang yang berada dekat dengan pasujudan. Setiap 10 Dzulhijjah atau pada hari raya Idul Adha, Bende Becak dijamas.
Sumber : idsejarah.net