Pejuang Kokoh
Cerpen Karangan: Kirana Nabila Rasyikha
Mata bulat itu menerawang jauh, lamunannya membuat pikirannya melayang, meninggalkan raga yang masih terduduk kaku. Tangannya terus saja memainkan pena hitam dengan mengetuknya ke dasar meja. Sesekali ia betulkan letak duduknya, sesekali ia benahi kerudung yang membalut kepalanya.
Siang itu memang tidak terlalu panas, karena matahari tak bersemangat memancarkan sinarnya. tapi, gadis itu terus berkeringat. Lomba menulis cerpen ini benar-benar menyita energi, pikiran, bahkan emosinya. 5 menit pertama dengan santai ia terus menulis, menuangkan pikiran dan imajinasinya. Tapi 25 menit selanjutnya, yang ia lakukan hanya mencoret-coret, melamun, dan terkadang menerawang seisi ruangan. Otaknya buntu.
5 hari menjelang lomba dimulai ia sudah menyusun rencana-rencana jalan-jalan bersama teman-temannya. Mulai dari berkemah di tepi pantai, berenang di pemandian, hingga menggoes sepeda berkeliling taman. Rencana–rencana itu memang indah. Tapi, kenyataannya disaat teman-temannya bersuka-ria di belahan dunia lain, ia justru duduk terpekur di sini, di ruangan panas ini dengan puluhan peserta lomba menulis cerpen tinggkat SMA dan kertas-kertas yang berserakan di atas meja. Detik demi detik terasa sangat menyiksa, ia menyesal kenapa ia berada di sini. Kalau bukan karena Bu Nora yang memaksanya untuk ikut lomba ini, pasti ia sedang bersenang-senang bersama teman-temannya atau menggeliat di kasur empuknya dengan segelas susu hangat dan biskuit keju kesukaannya sekarang.
Entah mengapa guru bahasa itu menunjuknya untuk ikut lomba itu. Hanya karena karangan-karangannya mendapat nilai bagus atau puisinya yang saat ia bacakan di depan kelas, orang akan bertepuk tanggan untuknya. Hanya karena itu, batinnya.
Tiba-tiba terdengar suara kursi berderit dari pojok kanan ruangan. Seorang siswa-entah dari sekolah mana-berjalan dengan elok menyusuri barisan duduk peserta lain dengan langkah pogah. Dari matanya tersirat rasa sombong yang membara, ia dengan cepat berjalan ke meja panitia dan mengumpulkan hasil karangannya dan kemudian berjalan ke pintu keluar. Tapi saat ia berada tepat di muka pintu, ia membalikkan badannya dan menatap sinis seorang siswa yang duduk pasrah di bangkunya dengan keringat yang menyelimuti wajahnya dan kertas yang berhamburan di mejanya.
Siswa itu sadar ia ditatap sinis oleh peserta lomba itu, tapi ia tak berani beradu mata dengannya. Ia merasa nyalinya seketika menciut, wajahnya ia tundukan, metanya ia arahkan ke kertas cerpennya yang mesih seperempat kosong. Bahkan saat peserta itu pergi, ia terus tertunduk.
Siswa itu sadar ia ditatap sinis oleh peserta lomba itu, tapi ia tak berani beradu mata dengannya. Ia merasa nyalinya seketika menciut, wajahnya ia tundukan, metanya ia arahkan ke kertas cerpennya yang mesih seperempat kosong. Bahkan saat peserta itu pergi, ia terus tertunduk.
“nyyyiiiiinngggg… sssiiiiiinggg” suara microphone tiba-tiba terdengar. Memekikkan telinga.
“Maaf, cek… cek.. Diberitahukan kepada seluruh peserta lomba bahwa waktu untuk pengerjaan cerpen akan berakhir dalam 5 menit lagi.” Salah seorang panitia mengumumkan. Peserta-peserta lomba mulai gusar. Dengan segera mereka menyelesiakan cerpennya. Begitupun dengan gadis yang duduk pasrah tadi. Kini ia mulai bergerak untuk menulis. Entah apa yang ia tulis. Ia tak peduli dengan obsesi untuk menang. Yang ia mau hanyalah menyelesaikan cerpen itu, mengumpulkannya, dan segera keluar dari tempat itu. 2 menit sebelum lomba berakhir, ia bangkit dari kursinya dan mengumpulkan karangannya pada panitia.
“Maaf, cek… cek.. Diberitahukan kepada seluruh peserta lomba bahwa waktu untuk pengerjaan cerpen akan berakhir dalam 5 menit lagi.” Salah seorang panitia mengumumkan. Peserta-peserta lomba mulai gusar. Dengan segera mereka menyelesiakan cerpennya. Begitupun dengan gadis yang duduk pasrah tadi. Kini ia mulai bergerak untuk menulis. Entah apa yang ia tulis. Ia tak peduli dengan obsesi untuk menang. Yang ia mau hanyalah menyelesaikan cerpen itu, mengumpulkannya, dan segera keluar dari tempat itu. 2 menit sebelum lomba berakhir, ia bangkit dari kursinya dan mengumpulkan karangannya pada panitia.
“hmm, Aurely paradishea. Nama yang cantik.” Panitia membaca namanya di biodata cerpennya saat ia menyerahkan naskah-naskah itu.
“Terimakasih, pak. Saya permisi” jawabnya dengan senyum yang manis.
“Silahkan” panitia itu menyerahkan secarik kertas berisi kolom daftar peserta untuk kemudian ditanda tangani. Dengan sigap kertas itu ia ambil dan langsung ia tanda tangani. Ia melangkah bebas ke luar dan langsung menuju tempat parkir, dimana guru dan ayahnya sedang menunggu.
“Terimakasih, pak. Saya permisi” jawabnya dengan senyum yang manis.
“Silahkan” panitia itu menyerahkan secarik kertas berisi kolom daftar peserta untuk kemudian ditanda tangani. Dengan sigap kertas itu ia ambil dan langsung ia tanda tangani. Ia melangkah bebas ke luar dan langsung menuju tempat parkir, dimana guru dan ayahnya sedang menunggu.
—
“Aurel! Bangun! Bangun aurel” Tiba-tiba suara bu Nora menggelegar di depan kelas. Suaranya merambat dan bergema dengan kuat hingga membangunkan Aurel yang tertidur pulas di tempat duduknya.
Sementara, orang yang dipanggil masih dalam dunia mimpi. Sikutan keras teman sebangkunya akhirnya berhasil menyadarkannya. Ia kucek mata yang masih mengantuk itu dengan kedua tangannya.
“aurel, Ibu kan sudah bilang, tahan kantukmu saat pelajaran sedang dimulai.” Bentak Bu Nora dengan tegas.
“Maaf, Bu. Lain kali saya tidak akan mengulanginya.” Jawab Aurel.
“Ya. Itu kalimat yang sama dengan ucapanmu 3 hari lalu saat Ibu memarahimu karena kamu tidur di kelas. Kamu ingat sudah berapa kali kamu tidur saat pelajaran saya?” Tanya bu nora. Aurel tidak menjawab, Ia hanya menggeleng-geleng kecil sambil menunduk.
“Sudah 5 kali Aurel! 5 kali. Habis ini kamu ikut saya ke ruang guru.” Perintah Bu Nora tak bisa lagi ditolak karena disertai nada yang tegas.
Sementara, orang yang dipanggil masih dalam dunia mimpi. Sikutan keras teman sebangkunya akhirnya berhasil menyadarkannya. Ia kucek mata yang masih mengantuk itu dengan kedua tangannya.
“aurel, Ibu kan sudah bilang, tahan kantukmu saat pelajaran sedang dimulai.” Bentak Bu Nora dengan tegas.
“Maaf, Bu. Lain kali saya tidak akan mengulanginya.” Jawab Aurel.
“Ya. Itu kalimat yang sama dengan ucapanmu 3 hari lalu saat Ibu memarahimu karena kamu tidur di kelas. Kamu ingat sudah berapa kali kamu tidur saat pelajaran saya?” Tanya bu nora. Aurel tidak menjawab, Ia hanya menggeleng-geleng kecil sambil menunduk.
“Sudah 5 kali Aurel! 5 kali. Habis ini kamu ikut saya ke ruang guru.” Perintah Bu Nora tak bisa lagi ditolak karena disertai nada yang tegas.
Bu Nora kembali melanjutkan pelajaran. Diakhir pelajaran, Ia meminta seluruh siswa untuk membuat sebuah cerpen bertema bebas yang menggambarkan tokoh inspiratif masing-masing siswa, dikumpulkan paling lambat 2 minggu lagi. Wajah-wajah lesu milai tampak. Dengan begini, bertambah satu tumpukan tugas-tugas yang memang sudah menggunung.
Sebelum meninggalkan kelas, Bu Nora memanggil nama Aurel dengan suara lantang. Aurel tahu, Bu Nora memanggilnya karena ia harus pergi ke ruangan Bu Nora sekarang. Ia segera bangkit dan mengikuti langkah Bu Nora hingga ke ruangannya.
Sebelum meninggalkan kelas, Bu Nora memanggil nama Aurel dengan suara lantang. Aurel tahu, Bu Nora memanggilnya karena ia harus pergi ke ruangan Bu Nora sekarang. Ia segera bangkit dan mengikuti langkah Bu Nora hingga ke ruangannya.
Bel pulang mengalun lembut. Disambut dengan sorakkan riuh rendah siswa-siswi yang sedari tadi menunggunya. Entah mengapa, bel pulang terdengar begitu lembut, membuat hati warga sekolah makin semangat. Baru saja Aurel akan keluar kelas untuk pulang, arif sang ketua kelas memanggilnya.
“rel, tunggu jangan pulang dulu. Tadi Bu Nora menitip pesan sama aku. Katanya kamu harus datang ke ruangannya pulang sekolah ini.”
“aduh, males ah. Paling juga aku dimarahin lagi. Boleh minta tolong nggak? Tolong bilang ke Bu nora kalau aku lagi sakit, terus harus buru-buru pulang. Please yah?” Pinta Aurel memelas. Ia memang dongkol dengan guru yang satu ini. Setiap kali ia datang ke ruangan Bu Nora pasti hanya untuk dimarahi atau diberikan ceramah.
“Rel, Bu Nora pasti mau nyampain hal penting. Apa salahnya sih? Udah ah aku pulang dulu” Jawab Arif. Ia langsung pergi meninggalkan aurel yang bimbang.
“rel, tunggu jangan pulang dulu. Tadi Bu Nora menitip pesan sama aku. Katanya kamu harus datang ke ruangannya pulang sekolah ini.”
“aduh, males ah. Paling juga aku dimarahin lagi. Boleh minta tolong nggak? Tolong bilang ke Bu nora kalau aku lagi sakit, terus harus buru-buru pulang. Please yah?” Pinta Aurel memelas. Ia memang dongkol dengan guru yang satu ini. Setiap kali ia datang ke ruangan Bu Nora pasti hanya untuk dimarahi atau diberikan ceramah.
“Rel, Bu Nora pasti mau nyampain hal penting. Apa salahnya sih? Udah ah aku pulang dulu” Jawab Arif. Ia langsung pergi meninggalkan aurel yang bimbang.
Akhirnya dengan terpaksa ia menemui Bu Nora. Tepat di depan kantor guru, Bu Nora sedang membereskan buku-buku dari lokernya untuk dibawa dalam tasnya. Wajah guru itu memancarkan kelelahan.
Ada rasa sungkan dalam hati Aurel untuk masuk ke ruangan itu. Tapi ia juga merasa bersalah, karena saat berjalan menuju ruang guru untuk menghadap Bu Nora, ia sengaja memperlambat jalannya dan bahkan ia mengambil jalan memutar dengan harapan Bu Nora terlalu lama menunggunya dan memutuskan untuk pulang sehingga ia tak perlu bertemu Bu Nora. Tapi ternyata, Bu Nora masih menunggunya selama itu.
Ada rasa sungkan dalam hati Aurel untuk masuk ke ruangan itu. Tapi ia juga merasa bersalah, karena saat berjalan menuju ruang guru untuk menghadap Bu Nora, ia sengaja memperlambat jalannya dan bahkan ia mengambil jalan memutar dengan harapan Bu Nora terlalu lama menunggunya dan memutuskan untuk pulang sehingga ia tak perlu bertemu Bu Nora. Tapi ternyata, Bu Nora masih menunggunya selama itu.
Sampai di rumah ia langsung berbaring di ranjanggnya. Ia lelah sekali hari ini. Biasanya sepulang sekolah Aurel selalu mandi untuk menyegarkan badan. Tapi kini, untuk mandi pun malas.
Bagaimana tidak, ia baru saja dipanggil ke ruanggan Bu Nora untuk dimarahi lagi karena tugasnya belum ia kerjakan, dan yang lebih mengejutkan adalah Bu Nora memintanya untuk ikut lomba cerpen yang diselenggarakan oleh sebuah universitas. Lomba kemarin saja hasilnya hancur-hancuran. Ia tak habis pikir. Tapi dengan terpaksa ajakan itu ia terima. Karena Bu Nora akan benar-benar marah bila Aurel menolak ajakan itu.
Bagaimana tidak, ia baru saja dipanggil ke ruanggan Bu Nora untuk dimarahi lagi karena tugasnya belum ia kerjakan, dan yang lebih mengejutkan adalah Bu Nora memintanya untuk ikut lomba cerpen yang diselenggarakan oleh sebuah universitas. Lomba kemarin saja hasilnya hancur-hancuran. Ia tak habis pikir. Tapi dengan terpaksa ajakan itu ia terima. Karena Bu Nora akan benar-benar marah bila Aurel menolak ajakan itu.
Selama beberapa hari, Bu Nora terus melatih aurel sepulang sekolah. Guru itu semangat sekali memberikan arahan mengenai kosa kata dan kaidah-kaidah kebahasaan yang perlu. Terkadang ia kelelahan sendiri karena harus mengajar pelajaran tambahan sepulang mengajar Aurel.
Aurel sempat menemukan Bu Nora tertidur di ranjang UKS karena sakit. Tapi pulangnya Bu Nora masih tetap menemani Aurel melatih tulisannya.
Aurel sempat menemukan Bu Nora tertidur di ranjang UKS karena sakit. Tapi pulangnya Bu Nora masih tetap menemani Aurel melatih tulisannya.
Aurel menyesal, mengenang betapa selama ini ia begitu membenci Bu Nora. Ia sering mempelopori teman-teman kelasnya untuk bergosip tentang guru bahasa itu. Sedemikian bencinya ia kepada Bu Nora, sampai ia pernah berdoa agar Bu Nora sakit atau ada suatu musibah yang menimpanya. Jadi, Bu Nora tidak masuk kelas dan mengajar hari itu.
Seribu sesal tertanam dalam hari Aurel. Ia ingin sekali melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya pada Bu Nora, guru yang sekarang ia sayangi ini.
Seribu sesal tertanam dalam hari Aurel. Ia ingin sekali melakukan sesuatu untuk menebus kesalahannya pada Bu Nora, guru yang sekarang ia sayangi ini.
Akhirnya, perlombaan menulis cerpen itu pun dimulai. Peserta diarahkan untuk memasuki ruanggan. Saat panitia menggarahkan peserta untuk memulai perlombaan, Aurel langsung mulai mengarang. Ia dengan semangat menuangkan segala imajinasinya dalam tulisannya itu. Ia tidak ingin mengecewakan guru yang selama ini telah mendidiknya dan berjuang untuknya.
Alhasil, 25 menit sebelum lomba berakhir, ia telah berhasil menyelesaikan tulisannya. Ada kebanggaan menyelimuti hatinya. Akhirnya ia tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan pada saat ia mengikuti lomba cerpen waktu itu.
Alhasil, 25 menit sebelum lomba berakhir, ia telah berhasil menyelesaikan tulisannya. Ada kebanggaan menyelimuti hatinya. Akhirnya ia tidak mengulangi kesalahan yang sama dengan pada saat ia mengikuti lomba cerpen waktu itu.
—
Tropi piala itu ia letakkan di meja Bu Nora. Di bawahnya ia selipkan sebuah karangan yang berhasil membawanya meraih juara. Ia segera kembali ke kelas. Sementara itu, di ruangannya Bu Nora terkejut melihat piala itu ada di mejanya. Ia memang sudah tahu Aurel menang. Tapi, ia binggung kenapa Aurel meletakkan piala itu di mejanya.
Ia melihat kertas karangan Aurel. Tanpa sadar air matanya menetes ketika membacanya. Ternyata karangan itu adalah karangan tentangnya, yang disusun dengan kata-kata sedemikian elok yang membuat anak didiknya meraih juara 1 dalam lomba. Ada secarik kertas kecil yang juga terselip di bawah piala, Bertuliskan:
Untukmu… Pahlawan sekaligus pejuang pendidikan
Cerpen Karangan: Kirana Nabila Rasyikha
sumber : cerpenmu.com